STABILITAS BIROKRASI PEMERINTAH
MAKALAH
STABILITAS BIROKRASI PEMERINTAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sistem Administrasi Negara Repubik Indonesia
Dosen pengampu: Drs. Heldi, M.Si.
Oleh :
Silvia Bintani
(NIM. 1168010256)
JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK SEMESTER II/F
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah swt karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang Stabilitas Birokrasi Pemerintah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita yakni nabi Muhammad saw., juga tak lupa kepada keluarganya, sahabatnya, tabi’in tabi’atnya dan semoga sampai kepada kita selaku umatnya, hingga akhir zaman, amiin ya rabbal ‘alamiin.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Stabilitas Birokrasi Pemerintah. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Dapat berguna bagi saya maupun orang yang membacanya.
Bandung, 19 Mei 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 1
Tujuan 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Birokrasi 2
2.2 Stabilitas Internal Birokrasi 3
2.3 Stabilitas Eksternal Birokrasi 7
2.4 Etika Birokrasi 12
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Birokrasi dan politik bagai dua mata uang yang tidak pernah terpisahkan satu sama lain. Birokrasi dan politik memang merupakan dua buah institusi yang memiliki karakter yang sangat berbeda, akan tetapi harus selalu saling mengisi satu sama lain. Politik tidak akan bisa berjalan tanpa Birokrasi dan begitu pula sebaliknya. Keduanya saling melengkapi, akan tetapi diperlukan juga sebuah batasan agar fungsi dari birokrasi dan politik dapat stabil tanpa ada dominasi antara keduanya.
Rumusan Masalah
Apa pengertian Birokrasi?
Bagaimana stabilitas internal dalam birokrasi?
Bagaimana stabilitas eksternal dalam birokrasi?
Bagaimana etika Birokrasi?
Tujuan
Dapat mengetahui pengertian birokrasi.
Dapat mengetahui bagaimana stabilitas internal di dalam birokrasi.
Dapat mengetahui bagaimana stabilitas eksternal di dalam birokrasi.
Dapat menegetahui etika Birokrasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Birokrasi
Selain menyajikan pengertian birokrasi, saya juga akan membahas mengenai pengertian stabilitas dan juga pemerintah, agar lebih mudah memahaminya.
Stabilitas adalah kemampuan yang dimiliki suatu organisme, populasi, komunitas, atau ekosistem untuk menghidupi dirinya sendiri atau meredam sejumlah gangguan maupun tekanan dari luar. Stabilitas dalam suatu sistem secara tidak langsung merupakan struktur pertahanan yang berlangsung terus, dari waktu ke waktu. Stabilitas bertahan hanya karena perubahan yang sifatnya tetap (arti-definisi-pengertian.info/pengertian-stabilitas/).
Kemudian birokrasi itu sendiri (Kumorotomo, 2009: 74) secara bahasa, birokrasi berasal dari bahasa Yunani bureau yang berarti meja tulis atau tempat bekerjanya para pejabat, dan kratein yang berarti mengatur. Birokrasi sesungguhnya dimaksudkan sebagai sarana bagi pemerintah yang berkuasa untuk melaksanakan pelayanan publik sesuai dengan aspirasi masyarakat. Menurut Weber, birokrasi adalah tipe organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif dengan cara mengkoordinasi secara sistematis teratur pekerjaan dari banyak anggota organisasi.
Lalu Pemerintah adalah Organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu (https://id.m.wikipedia.org/wiki/pemerintah).
Dengan demikian dapat diartikan pula bahwa birokrasi pemerintah adalah suatu pelaksanaan atas suatu kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yang tidak lain untuk memberikan pelayanan publik atas dasar aspirasi masyarakat. Maka, dapat dikatakan pula bahwa yang disebut dengan stabilitas birokrasi pemerintah adalah bagaimana suatu birokrasi pemerintah dapat meredam sejumlah gangguan maupun tekanan dari luar baik melalui interpensi, pengaruh, ataupun dominasi terhadapnya.
B. Stabilitas Internal Birokrasi
Birokrasi pemerintah seringkali diartikan sebagai officialdom atau kerajaan pejabat. Suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah para pejabat dari suatu bentuk organisasi yang digolongkan moderen. Di dalamnya terdapat tanda-tanda bahwa seseorang mempunyai yurisdiksi yang jelas dan pasti, mereka berada dalam area ofisial yang yurisdiktif. Di dalam yurisdiksi tersebut seseorang mempunyai tugas dan tanggung jawab resmi (official duties) yang memperjelas batas-batas kewenangan pekerjaannya. Mereka bekerja dalam tatanan pola hierarki sebagai perwujudan dari tingkatan otoritas dan kekuasaannya. Mereka memperoleh gaji berdasarkan keahlian dan kompetensinya. Selain itu dalam kerajaan pejabat tersebut, proses komunikasinya didasarkan pada dokumen tertulis (the files). Itulah kerajaan birokrasi yang rajanya para pejabat (Thoha, 2003: 2).
Konsep birokrasi tersebut adalah konsep yang telah usang dimana dikatakan bahwa birokrasi adalah kerajaan pejabat, terdapat yurisdiksi yang di dalamnya mengatur tentang tanggung jawab yang resmi dan bekerja dalam suatu tatanan hierarki. Dimana seseorang yang berada pada hierarki atas mempunyai kekuasaan yang lebih besar ketimbang jabatan yang berada di hierarki bawah. Dari konsep ini seolah ada jarak antara orang yang berada pada hierarki atas dan orang yang berada pada hirarki bawah. Yang akhirnya berimbas pula kepada rakyat yang tidak dipentingkan lagi aspirasinya.
Kekuasaan dalam birokrasi pemerintah selama ini dipergunakan sangat sentralistis dan eksesif. Ada korelasi yang positif antara tigkatan hierarki jabatan dalam birokrasi dengan kekuasaan (power). Semakin tinggi layer atau lapis hierarki jabatan seseorang dalam birokrasi maka semakin besar kekuasaannya, dan semakin rendah lapis hierarki semakin tidak berdaya (powerless). Adapun yang berada di luar lapis-lapis hierarki (beyond the hierarchy) adalah rakyat yang sama sekali tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi kekuasaan birokrasi (Thoha, 2003: 11-12).
Korelasi ini menunjukkan bahwa penggunaan kekuasaan pada hierarki atas sangat tidak imbang dengan penggunaan kekuasaan di tingkat bawah. Dengan kata lain sentralisasi kekuasaan yang berada di tingkat hierarki atas semakin memperlemah posisi pejabat di hierarki bawah dan tidak memberdayakan rakyat yang berada di luar hierarki. Sekaligus korelasi semacam ini mengartikan bahwa hierarki bawah dianggap kurang mampu mengatasi segala urusan, atau hierarki bawah tidak berani melakukan tindakan kalau tidak sepengetahuan hierarki atas. Anggapan seperti inilah yang membuat birokrasi pemerintah sangat tergantung pada seseorang yang amat berkuasa. Sekali lagi sentralisasi kekuasaan sangat kuat. Disini pula dapat membenarkan sebutan birokrasi pemerintah sebagai kerajaan pejabat... (Thoha, 2003: 12).
Disini sudah jelas bahwa birokrasi pemerintah mendominasi rakyat melalui kekuasaan yang dimilikinya. Sehingga terjadinya ketidaksesuaian atau penyimpangan dimana birokrasi pemerintah berkuasa sedangkan rakyat dikuasai. Hal ini terjadi disebabkan dari persepsi yang salah yaitu fakta bahwa pejabat birokrasi diangkat oleh pejabat yang berkuasa pada jabatan tertinggi dalam departemennya. Dari situlah ada semacam kewajiban untuk tunduk dan bertanggung jawab pada pejabat atasan yang telah memilihnya, sehingga ada kecenderungan untuk takut terhadap atasan dan memilih untuk melakukan sesuatu berdasarkan apa yang diperintahkan atasan saja daripada mementingkan aspirasi rakyat.
Mereka tidak berpikir hal yang paling mendasar dan paling penting bahwa rakyat mempunyai peran penting dalam ranah birokrasi, salah satunya yaitu rakyat ikut andil dalam membayar pajak dan hal yang lainnya. Para pejabat tersebut dipilih oleh rakyat dalam pemilu, artinya mereka tidak akan ada tanpa adanya suara rakyat. Seperti yang dikatakan oleh Thoha (2003: 14) ... pejabat birokrasi pemerintah seharusnya bukan takut kepada atasannya melainkan harus takut terhadap rakyat yang mempercayainya...
Disinilah stabilitas birokrasi dipertanyakan, bagaimana menjaga stabilitas birokrasi dari sejumlah gangguan maupun tekanan dari luar, sedangkan hubungan internalnyapun kacau ?
Dari pertanyaan tersebut sekiranya dapat dijawab oleh pernyataan Wahyudi Kumorotomo dalam bukunya. Secara umum, kita dapat melihat tiga macam gaya kepemimpinan, yaitu gaya otoriter, gaya demokratis, dan gaya kepemimpinan yang bebas (Kumorotomo, 2013: 89). Nah, dari gaya-gaya kepemimpinan tersebut kita dapat melihat bagaimana wibawa dari kebijakan-kebijakan birokrat serta kepercayaan warga masyarakat kepadanya, dan dari situlah timbul banyak pertanyaan dan pandangan dari beberapa kelompok.
Meskipun pandangan dari kelompok-kelompok warga negara yang berbeda-beda itu jarang yang bisa saling bersesuaian, para birokrat hendaknya bekerja berdasarkan asumsi bahwa keterbukaan akan lebih berhasil dalam mendorong partisipasi produktif warga negara dalam formulasi kebijakan maupun pelaksanaan program hingga meningkatkan warga negara kepada pemerintahnya. Hal ini akan mengurangi kemungkinan teralienasinya para warga negara dari proses pemerintahan, yang akhirnya akan meningkatkan kualitas pemerintahan ke arah yang lebih efektif, tanggap, dan bertanggung jawab. Akhirnya, kepercayaan warga negara kepada pranata-pranata administrasi pemerintah juga sangat dipengaruhi oleh komitmen para birokrat dengan nilai-nilai yang paling mendasar dalam masyarakat yang demokratis (Kumorotomo, 2013: 95).
Jadi dapat disimpulkan dalam menjaga stabilitas internal birokrasi ini dalah dengan selalu berpikiran tentang hal yang mendasar bahwa kewajiban seorang birokrat baik pada hierarki atas maupun hierarki bawah itu sama saja yaitu melayani masyarakat,serta menerima dan mewujudkan berbagai aspirasi masyarakat. Selain dari itu juga para birokrat harus memiliki landasan normatif yang terkandung dalam nilai-nilai moral, yang menentukan bagaimana ia akan bertindak sebagai birokrat.
C. Stabilitas Eksternal Birokrasi
Hadirnya partai politik dalam suatu sistem pemerintahan akan berpengaruh terhadap tatanan birokrasi pemerintah. Susunan birokrasi pemerintah akan terdiri dari jabatan-jabatan yang diisi oleh para birokrat karier, dan ada pula yang diisi oleh para pejabat politik. Kehadiran pejabat politik yang berasal dari kekuatan politik atau partai politik dalam birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari. Oleh karena itu penataan birokrasi pemerintah dengan mengakomodasikan hadirnya jabatan-jabatan dan para pejabat politik perlu ditata dengan baik (Thoha, 2003: 151). Apa jadinya jika ada campur tangan atau kekuasaan yang kabur antara birokrasi pemerintahan dengan jabatan politik, tentu disitulah bagaimana stabilitas antara birokrasi dan politik itu dipertanyakan. Birokrasi harus mampu menahan segala bentuk dominasi dari luar termasuk dari kekuasaan politik karena sejatinya birokrasi dan politik itu mempunyai tugas, fungsi dan wilayahnya masing-masing.
Di Indonesia selama pemerintahan orde baru, yang berkuasa dalam pemerintahan adalah partai pemenang pemilu. Kemudian pemilu tersebut selalu dimenangkan oleh Golkar (tidak mau disebut parpol). Sehingga semua posisi jabatan diisi oleh golkar. Hal tersebut mengakibatkan sulit dibedakannya mana birokrat tulen dan mana birokrat partisan, sulit membedakan antara pejabat politik dan pejabat birokrasi karier. Ketika terjadi gerakan reformasi, Orde baru (Golkar) runtuh. Akan tetapi sistem pemerintahan sulit dilakukan pembaharuan, yang akhirnya menjadi warisan sampai sekarang (Thoha, 2003: 151-152).
Menurut teori liberal bahwa birokrasi pemerintah itu menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempunyai askses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan. Dengan demikian, maka birokrasi pemerintah itu bukan hanya didominasi oleh para birokrat saja, melainkan ada bagian-bagian tertentu yang diduduki oleh pejabat politik. Pernyataan tersebut oleh Carino dalam Thoha (20013, 152-153). Demikian pula sebaliknya bahwa di dalam birokrasi pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pimpinan politik dari partai politik saja melainkan ada juga pimpinan birokrasi karier yang profesional. Sudah jelas dari penjelasan tersebut tentu birokrasi maupun politik mempunyai wilayah dan bagian-bagian tertentu dalam birokrasi pemerintah. Maka seharusnya mereka menjalankan apa yang sudah tergaris dan tidak melewati batasan-batasan diantara mereka.
Dari pernyataan tersebut juga dapat diketahui bahwa di dalam birokrasi pemerintah itu bukan hanya di dominasi oleh para birokrat saja, tetapi ada bagian-bagian tertentu yang di duduki oleh pejabat politik. Lalu dari situ pulalah akan timbul pertanyaan, bagaimana hubungan antara birokrasi dan politik? lalu bagaimana posisi birokrasi dengan politik, apakah birokrasi sejajar dengan politik, berada di bawah atau berada di atas politik? Kemudian siapa yang mendominasi siapa? Meskipun birokrasi dan politik itu memiliki posisi di dalam birokrasi pemerintah, teapi fungsi mereka berbeda. Ini sebagai perwujudan paradigma dikotomi politik dan adminitrasi. Dari paradigma inilah sebenarnya muncul dominasi pejabat politik terhadap birokrasi, dari perbedaan antara pembuatan kebijakan (pejabat politik )dan pelaksanaan kebijakan (pejabat karier birokrasi).
Akan tetapi ada anggapan bahwa birokrasi pemerintah juga tidak hanya sebagai mesin pelaksana. Pejabat birokrasi yang terlatih secara profesional mempunyai kekuatan tersendiri sebagai suatu pejabat yang permanen. Pejabat seperti ini sepertinya mempunyai catatan karier yang panjang jika dibandingkan dengan pimpinannya pejabat politik yang bukan spesialis. Dengan memperhatikan hal-hal seperti ini, maka birokrasi itu mempunyai kekuatan yang seimbang dengan pejabat politik. Oleh karena itu kedudukannya tidak sekedar sebagai subordinasi dan mesin pelaksana, melainkan sebanding atau co-equality with the executive. Dengan demikian birokrasi itu merupakan kekuatan yang a politic but highly politized. Birokrasi bukan merupakan partisan politik akan tetapi karena keahliannya mempunyai kekuatan untuk membuat kebijakan yang profesional (Thoha, 2003: 155). Artinya meskipun terdapat pemahaman umum kita bahwa pejabat politik yang membuat kebijakan dan birokrat yang melaksanakannya, pernyataan itu dapat dibantahkan dengan adanya pejabat birokrasi pemerintah yang terlatih secara profesional maka dia dapat sejajar dengan pejabat politik, bahkan mungkin apabila dilihat dari catatan kariernya akan sangat unggul dibandingkan dengan pejabat politik.
Organisasi pemerintahan di bawah presiden di negara-negara yang mengikuti sistem demokrasi ada dua macam, yakni departemen yang dipimpin oleh menteri dan non departemen(nondep) yang dipimpin bukan menteri. Bedanya kedua macam lembaga itu anatara lain, organisasi departemen dipimpin oleh pejabat politik yang disebut secretary atau menteri. Adapun lembaga nondep dipimpin bukan pejabat politik, melainkan oleh pejabat yang profesional di bidangnya, atau pejabat birokrasi karier (Thoha, 2003: 156-157).
Di Indonesia ketika zaman pemerintahan Orde Baru sampai sekarang, organisasi nondep dirangkap oleh menteri dan ada pula yang dikoordinasikan oleh menteri koordinator, atau menteri negara. Pelantikan kepala nondep yang dirangkap menteri dilantik oleh presiden sedangkan yang tidak dirangkap oleh menteri dilantik oleh menteri negara, atau menko atau sesneg (Thoha, 2003: 157). Sudah jelas dari sini bahwa keadaan birokrasi di Indonesia ini sangat tidak stabil dan sangat memprihatinkan, ada banyak kebenaran yang dititupi atau bahkan kebenaran yang sebenarnya diketahui namun diabaikan. Dari pernyataan tersebut terlihat bahwa fakta yang harus ada pada sistem demokrasi adalah adanya departemen yang dipimpin oleh seorang pejabat politik (sekretaris atau menteri) dan ada juga non departemen yang dipimpin oleh bukan pejabat politik (pejabat profesional di bidangnya), yang keduanya tidak boleh saling memasuki area atau harus memperhatikan batasan-batasan yang sudah ada.
Berdasarkan konsep pemahaman seperti itu, di Indonesia maka lembaga nondep sebaiknya tidak dirangkap oleh pejabat politik. Perlu dirancang dalam grab design reformasi administrasi negara yang komplit. Demikian pula pelantikan kepala yang memimpin organisasi nondep harus dilakukan oleh presiden bukan oleh menko atau sesneg atau menteri negara yang mengkoordinasikan. Akan tetapi hal itu sampai sekarang belum terwujud karena masih banyak LPND yang dikoordinasikan dan dirangkap oleh menteri. Demikian pula berdasarkan kepres no 166 tahun 2000 yang kemudian diperbaharui dengan keppres no 103 tahun 2001 hanya LPND tertentu saja yang bisa dijabat oleh PNS. Untuk memperkuat susunan organisasi dalam rangka melakukan restrukturisasi dan reposisi borokrasi publik maka perlu diatur dalam undang-undang. Hal tersebut tentu memerlukan peran DPR untuk menyusunnya (Thoha, 2003:160). Ya, disini seakan-akan peran DPR sangat penting, disini bisa saja DPR membuat dan memberlakukan undang-undang tentang restrukturisasi dan reposisi. Akan tetapi pada kenyataannya, DPR pasti ada partai yang mengusung, dan tentu sedikitnya pasti ada intervensi dari partai yang mengusungnya, meskipun seharusnya mereka lebih memikirkan hal yang penting bagi negara yang berimbas pula kepada nasib rakyat.
Stabilitas eksternal birokrasi dan partai politik jadi semakin jelas, kedudukan birokrasi seolah sangat dicampuri oleh ranah politik, dan politik sangat mendominasi wilayah birokrasi, apalagi dengan fakta bahwa terdapat pula keppres yang berisi aturan yang mempersempit gerak para birokrat dan membuka luas peluang untuk para pejabat politik.
Terlepas dari siapa mendominasi siapa, masalah atau kesenjangan seperti apapun yang terjadi, alangkah lebih baiknya birokrasi lebih meneliti atau memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada di dalam birokrasi itu sendiri, salah satu hal yang harus diperhatikan adalah etika birokrasi, dan tentunya implementasi dari etika birokrasi tersebut.
D. ETIKA BIROKRASI
Etika merupakan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya atau kumpulan asas atau nilai moral. Untuk menjadi pegangan atau rujukan seseorang atau kelompok, nilai-nilai moral tersebut diwujudkan dalam bentuk kode etik, misalnya kode etik kedokteran, kode etik pers/jurnalistik, kode etik kehakiman, dan lain sebagainya (Anggara, 2012: 401). Etika birokrasi adalah “norma atau nilai-nilai moral yang menjadi pedoman bagi keseluruhan aparat pemerintah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya demi kepentingan umum atau masyarakat.
Kode etik dapat memperkuat kepercayaan masyarakat dan mendapat kepastian bahwa kepentingannya terjamin. Jadi, kode etik ibarat kompas yang menunjukkan arah moral dan menjamin mutu kelompok tersebut dalam hal ini kelompok birokrasi dalam pemerintahan di mata masyarakat. Agar pelaksanaan kode etik berhasil dengan baik, pelaksanaannya diawasi terus-menerus dan kode etik mengandung sanksi bagi pelanggar kode etik. Pelanggaran kode etik akan dinilai dan ditindak oleh “suatu dewan kehormatan” atau komisi yang dibentuk khusus untuk keperluan itu (Anggara, 2012: 403)
Oleh karena itu, aparat pemerintah seharusnya mempunyai pedoman dalam bersikap, sehingga birokrasi menjadi lebih bertanggung jawab dan berkembang menjadi lebih baik. Bukan justru memanfaatkan birokrasi untuk kepentingan pribadi tanpa memperhatikan masyarakat yang membutuhkan bantuan pelayanan.
Menurut Anggara, (2012: 405) Pada umumnya, penyusunan kode etik minimal didasari oleh empat aspek pertimbangan sebagai berikut:
Profesionalisme
Keahlian khusus yang dimiliki oleh seseorang, baik yang diperolehnya dari pendidikan formal (dokter, akuntan, pengacara, dan lain-lain).
1. Akuntabilitas
Kesanggupan seseorang untuk mempertanggungjawabkan apa pun yang telah dilakukannya berkaitan dengan profesi serta perannya sehingga ia dapat dipercaya. Misalnya, seorang auditor yang memeriksa laporan keuangan sebuah perusahaan. Ia harus dapat mempertanggungjawabkan hasil pemeriksaan yang dibuatnya sesuai dengan kondisi perusahaan yang sebenarnya.
2. Menjaga kerahasiaan
Sebuah kemampuan memelihara kepercayaan dengan bersikap hati-hati dalam memberikan informasi. Seorang profesional harus mampu menyeleksi hal-hal yang bisa diinformasikan kepada umum dan informasi yang perlu disimpan sebagai sebuah kerahasiaan. Hal ini dilakukan demi menjaga reputasi sebuah perusahaan dan profesi yang dijabatnya. Misalnya seorang konsultan merupakan orang kepercayaan sebuah perusahaan, ia bisa mengetahui seluk-beluk perusahaan tersebut, tetapi harus menjaga informasi yang dimilikinya agar tidak sampai ke pihak luar yang tidak berkepentingan.
3. Independensi
Sikap netral, tidak memihak salah satu pihak, menyadari batasan-batasan dalam mengungkapkan sesuatu juga merupakan salah satu pertimbangan kode etik. Misalnya, untuk mendamaikan dua pihak yang berselisih dan merugikan perusahaan, seorang manajer yang bisa menjaga sikap independennya akan lebih dipercaya kedua belah pihak sehingga akan sangat membantu dalam penyelesaian kasus perselisihan yang dihadapinya.
Prinsip lain yang juga bisa dijadikan parameter dalam pelaksanaan birokrasi dapat merujuk pada prinsip-prinsip good governance yang meliputi partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, kepedulian kepada stakeholder, berorientasi kepada konsensus, kesetaraan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis (Anggara, 2012: 406).
Oleh karena itu, para birokrat harus senantiasa berpegang pada kode etik birokrasi agar setiap tindakan para pejabat dapat sesuai dengan apa yang seharusnya dan lebih terarah, sehingga birokrasi dapat menuju ke arah good governance dan birokrasi yang stabil.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Birokrasi pemerintah adalah suatu pelaksanaan atas suatu kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yang tidak lain untuk memberikan pelayanan publik atas dasar aspirasi masyarakat.
Birokrasi pemerintah seringkali diartikan sebagai officialdom atau kerajaan pejabat. Suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah para pejabat dari suatu bentuk organisasi yang digolongkan moderen. Di dalamnya terdapat tanda-tanda bahwa seseorang mempunyai yurisdiksi yang jelas dan pasti, mereka berada dalam area ofisial yang yurisdiktif. Konsep birokrasi tersebut adalah konsep yang telah usang dimana dikatakan bahwa birokrasi adalah kerajaan pejabat, terdapat yurisdiksi yang di dalamnya mengatur tentang tanggung jawab yang resmi dan bekerja dalam suatu tatanan hierarki. Dimana seseorang yang berada pada hierarki atas mempunyai kekuasaan yang lebih besar ketimbang jabatan yang berada di hierarki bawah. Hal tersebut seolah menciptakan jarak antar masing-masing jabatan, yang berimbas kepada rakyat.
Birokrasi pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pimpinan politik dari partai politik saja melainkan ada juga pimpinan birokrasi karier yang profesional. Sudah jelas dari penjelasan tersebut tentu birokrasi maupun politik mempunyai wilayah dan bagian-bagian tertentu dalam birokrasi pemerintah. Maka seharusnya mereka menjalankan apa yang sudah tergaris dan tidak melewati batasan-batasan diantara mereka. Untuk mengetahui bagaimana para pejabat bertindak, maka harus memperhatikan etika.
Etika merupakan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya atau kumpulan asas atau nilai moral. Untuk menjadi pegangan atau rujukan seseorang atau kelompok, nilai-nilai moral tersebut diwujudkan dalam bentuk kode etik. Etika birokrasi adalah norma atau nilai-nilai moral yang menjadi pedoman bagi keseluruhan aparat pemerintah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya demi kepentingan umum atau masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anggara, Sahya. 2012. Ilmu Administrasi Negara. Bandung: Pustaka Setia.
Kumorotomo, Wahyudi. 2013. Etika Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesiai.Jakarta: Raja Grafindo Persada.
STABILITAS BIROKRASI PEMERINTAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sistem Administrasi Negara Repubik Indonesia
Dosen pengampu: Drs. Heldi, M.Si.
Oleh :
Silvia Bintani
(NIM. 1168010256)
JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK SEMESTER II/F
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah swt karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang Stabilitas Birokrasi Pemerintah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita yakni nabi Muhammad saw., juga tak lupa kepada keluarganya, sahabatnya, tabi’in tabi’atnya dan semoga sampai kepada kita selaku umatnya, hingga akhir zaman, amiin ya rabbal ‘alamiin.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Stabilitas Birokrasi Pemerintah. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Dapat berguna bagi saya maupun orang yang membacanya.
Bandung, 19 Mei 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 1
Tujuan 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Birokrasi 2
2.2 Stabilitas Internal Birokrasi 3
2.3 Stabilitas Eksternal Birokrasi 7
2.4 Etika Birokrasi 12
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Birokrasi dan politik bagai dua mata uang yang tidak pernah terpisahkan satu sama lain. Birokrasi dan politik memang merupakan dua buah institusi yang memiliki karakter yang sangat berbeda, akan tetapi harus selalu saling mengisi satu sama lain. Politik tidak akan bisa berjalan tanpa Birokrasi dan begitu pula sebaliknya. Keduanya saling melengkapi, akan tetapi diperlukan juga sebuah batasan agar fungsi dari birokrasi dan politik dapat stabil tanpa ada dominasi antara keduanya.
Rumusan Masalah
Apa pengertian Birokrasi?
Bagaimana stabilitas internal dalam birokrasi?
Bagaimana stabilitas eksternal dalam birokrasi?
Bagaimana etika Birokrasi?
Tujuan
Dapat mengetahui pengertian birokrasi.
Dapat mengetahui bagaimana stabilitas internal di dalam birokrasi.
Dapat mengetahui bagaimana stabilitas eksternal di dalam birokrasi.
Dapat menegetahui etika Birokrasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Birokrasi
Selain menyajikan pengertian birokrasi, saya juga akan membahas mengenai pengertian stabilitas dan juga pemerintah, agar lebih mudah memahaminya.
Stabilitas adalah kemampuan yang dimiliki suatu organisme, populasi, komunitas, atau ekosistem untuk menghidupi dirinya sendiri atau meredam sejumlah gangguan maupun tekanan dari luar. Stabilitas dalam suatu sistem secara tidak langsung merupakan struktur pertahanan yang berlangsung terus, dari waktu ke waktu. Stabilitas bertahan hanya karena perubahan yang sifatnya tetap (arti-definisi-pengertian.info/pengertian-stabilitas/).
Kemudian birokrasi itu sendiri (Kumorotomo, 2009: 74) secara bahasa, birokrasi berasal dari bahasa Yunani bureau yang berarti meja tulis atau tempat bekerjanya para pejabat, dan kratein yang berarti mengatur. Birokrasi sesungguhnya dimaksudkan sebagai sarana bagi pemerintah yang berkuasa untuk melaksanakan pelayanan publik sesuai dengan aspirasi masyarakat. Menurut Weber, birokrasi adalah tipe organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif dengan cara mengkoordinasi secara sistematis teratur pekerjaan dari banyak anggota organisasi.
Lalu Pemerintah adalah Organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu (https://id.m.wikipedia.org/wiki/pemerintah).
Dengan demikian dapat diartikan pula bahwa birokrasi pemerintah adalah suatu pelaksanaan atas suatu kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yang tidak lain untuk memberikan pelayanan publik atas dasar aspirasi masyarakat. Maka, dapat dikatakan pula bahwa yang disebut dengan stabilitas birokrasi pemerintah adalah bagaimana suatu birokrasi pemerintah dapat meredam sejumlah gangguan maupun tekanan dari luar baik melalui interpensi, pengaruh, ataupun dominasi terhadapnya.
B. Stabilitas Internal Birokrasi
Birokrasi pemerintah seringkali diartikan sebagai officialdom atau kerajaan pejabat. Suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah para pejabat dari suatu bentuk organisasi yang digolongkan moderen. Di dalamnya terdapat tanda-tanda bahwa seseorang mempunyai yurisdiksi yang jelas dan pasti, mereka berada dalam area ofisial yang yurisdiktif. Di dalam yurisdiksi tersebut seseorang mempunyai tugas dan tanggung jawab resmi (official duties) yang memperjelas batas-batas kewenangan pekerjaannya. Mereka bekerja dalam tatanan pola hierarki sebagai perwujudan dari tingkatan otoritas dan kekuasaannya. Mereka memperoleh gaji berdasarkan keahlian dan kompetensinya. Selain itu dalam kerajaan pejabat tersebut, proses komunikasinya didasarkan pada dokumen tertulis (the files). Itulah kerajaan birokrasi yang rajanya para pejabat (Thoha, 2003: 2).
Konsep birokrasi tersebut adalah konsep yang telah usang dimana dikatakan bahwa birokrasi adalah kerajaan pejabat, terdapat yurisdiksi yang di dalamnya mengatur tentang tanggung jawab yang resmi dan bekerja dalam suatu tatanan hierarki. Dimana seseorang yang berada pada hierarki atas mempunyai kekuasaan yang lebih besar ketimbang jabatan yang berada di hierarki bawah. Dari konsep ini seolah ada jarak antara orang yang berada pada hierarki atas dan orang yang berada pada hirarki bawah. Yang akhirnya berimbas pula kepada rakyat yang tidak dipentingkan lagi aspirasinya.
Kekuasaan dalam birokrasi pemerintah selama ini dipergunakan sangat sentralistis dan eksesif. Ada korelasi yang positif antara tigkatan hierarki jabatan dalam birokrasi dengan kekuasaan (power). Semakin tinggi layer atau lapis hierarki jabatan seseorang dalam birokrasi maka semakin besar kekuasaannya, dan semakin rendah lapis hierarki semakin tidak berdaya (powerless). Adapun yang berada di luar lapis-lapis hierarki (beyond the hierarchy) adalah rakyat yang sama sekali tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi kekuasaan birokrasi (Thoha, 2003: 11-12).
Korelasi ini menunjukkan bahwa penggunaan kekuasaan pada hierarki atas sangat tidak imbang dengan penggunaan kekuasaan di tingkat bawah. Dengan kata lain sentralisasi kekuasaan yang berada di tingkat hierarki atas semakin memperlemah posisi pejabat di hierarki bawah dan tidak memberdayakan rakyat yang berada di luar hierarki. Sekaligus korelasi semacam ini mengartikan bahwa hierarki bawah dianggap kurang mampu mengatasi segala urusan, atau hierarki bawah tidak berani melakukan tindakan kalau tidak sepengetahuan hierarki atas. Anggapan seperti inilah yang membuat birokrasi pemerintah sangat tergantung pada seseorang yang amat berkuasa. Sekali lagi sentralisasi kekuasaan sangat kuat. Disini pula dapat membenarkan sebutan birokrasi pemerintah sebagai kerajaan pejabat... (Thoha, 2003: 12).
Disini sudah jelas bahwa birokrasi pemerintah mendominasi rakyat melalui kekuasaan yang dimilikinya. Sehingga terjadinya ketidaksesuaian atau penyimpangan dimana birokrasi pemerintah berkuasa sedangkan rakyat dikuasai. Hal ini terjadi disebabkan dari persepsi yang salah yaitu fakta bahwa pejabat birokrasi diangkat oleh pejabat yang berkuasa pada jabatan tertinggi dalam departemennya. Dari situlah ada semacam kewajiban untuk tunduk dan bertanggung jawab pada pejabat atasan yang telah memilihnya, sehingga ada kecenderungan untuk takut terhadap atasan dan memilih untuk melakukan sesuatu berdasarkan apa yang diperintahkan atasan saja daripada mementingkan aspirasi rakyat.
Mereka tidak berpikir hal yang paling mendasar dan paling penting bahwa rakyat mempunyai peran penting dalam ranah birokrasi, salah satunya yaitu rakyat ikut andil dalam membayar pajak dan hal yang lainnya. Para pejabat tersebut dipilih oleh rakyat dalam pemilu, artinya mereka tidak akan ada tanpa adanya suara rakyat. Seperti yang dikatakan oleh Thoha (2003: 14) ... pejabat birokrasi pemerintah seharusnya bukan takut kepada atasannya melainkan harus takut terhadap rakyat yang mempercayainya...
Disinilah stabilitas birokrasi dipertanyakan, bagaimana menjaga stabilitas birokrasi dari sejumlah gangguan maupun tekanan dari luar, sedangkan hubungan internalnyapun kacau ?
Dari pertanyaan tersebut sekiranya dapat dijawab oleh pernyataan Wahyudi Kumorotomo dalam bukunya. Secara umum, kita dapat melihat tiga macam gaya kepemimpinan, yaitu gaya otoriter, gaya demokratis, dan gaya kepemimpinan yang bebas (Kumorotomo, 2013: 89). Nah, dari gaya-gaya kepemimpinan tersebut kita dapat melihat bagaimana wibawa dari kebijakan-kebijakan birokrat serta kepercayaan warga masyarakat kepadanya, dan dari situlah timbul banyak pertanyaan dan pandangan dari beberapa kelompok.
Meskipun pandangan dari kelompok-kelompok warga negara yang berbeda-beda itu jarang yang bisa saling bersesuaian, para birokrat hendaknya bekerja berdasarkan asumsi bahwa keterbukaan akan lebih berhasil dalam mendorong partisipasi produktif warga negara dalam formulasi kebijakan maupun pelaksanaan program hingga meningkatkan warga negara kepada pemerintahnya. Hal ini akan mengurangi kemungkinan teralienasinya para warga negara dari proses pemerintahan, yang akhirnya akan meningkatkan kualitas pemerintahan ke arah yang lebih efektif, tanggap, dan bertanggung jawab. Akhirnya, kepercayaan warga negara kepada pranata-pranata administrasi pemerintah juga sangat dipengaruhi oleh komitmen para birokrat dengan nilai-nilai yang paling mendasar dalam masyarakat yang demokratis (Kumorotomo, 2013: 95).
Jadi dapat disimpulkan dalam menjaga stabilitas internal birokrasi ini dalah dengan selalu berpikiran tentang hal yang mendasar bahwa kewajiban seorang birokrat baik pada hierarki atas maupun hierarki bawah itu sama saja yaitu melayani masyarakat,serta menerima dan mewujudkan berbagai aspirasi masyarakat. Selain dari itu juga para birokrat harus memiliki landasan normatif yang terkandung dalam nilai-nilai moral, yang menentukan bagaimana ia akan bertindak sebagai birokrat.
C. Stabilitas Eksternal Birokrasi
Hadirnya partai politik dalam suatu sistem pemerintahan akan berpengaruh terhadap tatanan birokrasi pemerintah. Susunan birokrasi pemerintah akan terdiri dari jabatan-jabatan yang diisi oleh para birokrat karier, dan ada pula yang diisi oleh para pejabat politik. Kehadiran pejabat politik yang berasal dari kekuatan politik atau partai politik dalam birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari. Oleh karena itu penataan birokrasi pemerintah dengan mengakomodasikan hadirnya jabatan-jabatan dan para pejabat politik perlu ditata dengan baik (Thoha, 2003: 151). Apa jadinya jika ada campur tangan atau kekuasaan yang kabur antara birokrasi pemerintahan dengan jabatan politik, tentu disitulah bagaimana stabilitas antara birokrasi dan politik itu dipertanyakan. Birokrasi harus mampu menahan segala bentuk dominasi dari luar termasuk dari kekuasaan politik karena sejatinya birokrasi dan politik itu mempunyai tugas, fungsi dan wilayahnya masing-masing.
Di Indonesia selama pemerintahan orde baru, yang berkuasa dalam pemerintahan adalah partai pemenang pemilu. Kemudian pemilu tersebut selalu dimenangkan oleh Golkar (tidak mau disebut parpol). Sehingga semua posisi jabatan diisi oleh golkar. Hal tersebut mengakibatkan sulit dibedakannya mana birokrat tulen dan mana birokrat partisan, sulit membedakan antara pejabat politik dan pejabat birokrasi karier. Ketika terjadi gerakan reformasi, Orde baru (Golkar) runtuh. Akan tetapi sistem pemerintahan sulit dilakukan pembaharuan, yang akhirnya menjadi warisan sampai sekarang (Thoha, 2003: 151-152).
Menurut teori liberal bahwa birokrasi pemerintah itu menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempunyai askses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan. Dengan demikian, maka birokrasi pemerintah itu bukan hanya didominasi oleh para birokrat saja, melainkan ada bagian-bagian tertentu yang diduduki oleh pejabat politik. Pernyataan tersebut oleh Carino dalam Thoha (20013, 152-153). Demikian pula sebaliknya bahwa di dalam birokrasi pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pimpinan politik dari partai politik saja melainkan ada juga pimpinan birokrasi karier yang profesional. Sudah jelas dari penjelasan tersebut tentu birokrasi maupun politik mempunyai wilayah dan bagian-bagian tertentu dalam birokrasi pemerintah. Maka seharusnya mereka menjalankan apa yang sudah tergaris dan tidak melewati batasan-batasan diantara mereka.
Dari pernyataan tersebut juga dapat diketahui bahwa di dalam birokrasi pemerintah itu bukan hanya di dominasi oleh para birokrat saja, tetapi ada bagian-bagian tertentu yang di duduki oleh pejabat politik. Lalu dari situ pulalah akan timbul pertanyaan, bagaimana hubungan antara birokrasi dan politik? lalu bagaimana posisi birokrasi dengan politik, apakah birokrasi sejajar dengan politik, berada di bawah atau berada di atas politik? Kemudian siapa yang mendominasi siapa? Meskipun birokrasi dan politik itu memiliki posisi di dalam birokrasi pemerintah, teapi fungsi mereka berbeda. Ini sebagai perwujudan paradigma dikotomi politik dan adminitrasi. Dari paradigma inilah sebenarnya muncul dominasi pejabat politik terhadap birokrasi, dari perbedaan antara pembuatan kebijakan (pejabat politik )dan pelaksanaan kebijakan (pejabat karier birokrasi).
Akan tetapi ada anggapan bahwa birokrasi pemerintah juga tidak hanya sebagai mesin pelaksana. Pejabat birokrasi yang terlatih secara profesional mempunyai kekuatan tersendiri sebagai suatu pejabat yang permanen. Pejabat seperti ini sepertinya mempunyai catatan karier yang panjang jika dibandingkan dengan pimpinannya pejabat politik yang bukan spesialis. Dengan memperhatikan hal-hal seperti ini, maka birokrasi itu mempunyai kekuatan yang seimbang dengan pejabat politik. Oleh karena itu kedudukannya tidak sekedar sebagai subordinasi dan mesin pelaksana, melainkan sebanding atau co-equality with the executive. Dengan demikian birokrasi itu merupakan kekuatan yang a politic but highly politized. Birokrasi bukan merupakan partisan politik akan tetapi karena keahliannya mempunyai kekuatan untuk membuat kebijakan yang profesional (Thoha, 2003: 155). Artinya meskipun terdapat pemahaman umum kita bahwa pejabat politik yang membuat kebijakan dan birokrat yang melaksanakannya, pernyataan itu dapat dibantahkan dengan adanya pejabat birokrasi pemerintah yang terlatih secara profesional maka dia dapat sejajar dengan pejabat politik, bahkan mungkin apabila dilihat dari catatan kariernya akan sangat unggul dibandingkan dengan pejabat politik.
Organisasi pemerintahan di bawah presiden di negara-negara yang mengikuti sistem demokrasi ada dua macam, yakni departemen yang dipimpin oleh menteri dan non departemen(nondep) yang dipimpin bukan menteri. Bedanya kedua macam lembaga itu anatara lain, organisasi departemen dipimpin oleh pejabat politik yang disebut secretary atau menteri. Adapun lembaga nondep dipimpin bukan pejabat politik, melainkan oleh pejabat yang profesional di bidangnya, atau pejabat birokrasi karier (Thoha, 2003: 156-157).
Di Indonesia ketika zaman pemerintahan Orde Baru sampai sekarang, organisasi nondep dirangkap oleh menteri dan ada pula yang dikoordinasikan oleh menteri koordinator, atau menteri negara. Pelantikan kepala nondep yang dirangkap menteri dilantik oleh presiden sedangkan yang tidak dirangkap oleh menteri dilantik oleh menteri negara, atau menko atau sesneg (Thoha, 2003: 157). Sudah jelas dari sini bahwa keadaan birokrasi di Indonesia ini sangat tidak stabil dan sangat memprihatinkan, ada banyak kebenaran yang dititupi atau bahkan kebenaran yang sebenarnya diketahui namun diabaikan. Dari pernyataan tersebut terlihat bahwa fakta yang harus ada pada sistem demokrasi adalah adanya departemen yang dipimpin oleh seorang pejabat politik (sekretaris atau menteri) dan ada juga non departemen yang dipimpin oleh bukan pejabat politik (pejabat profesional di bidangnya), yang keduanya tidak boleh saling memasuki area atau harus memperhatikan batasan-batasan yang sudah ada.
Berdasarkan konsep pemahaman seperti itu, di Indonesia maka lembaga nondep sebaiknya tidak dirangkap oleh pejabat politik. Perlu dirancang dalam grab design reformasi administrasi negara yang komplit. Demikian pula pelantikan kepala yang memimpin organisasi nondep harus dilakukan oleh presiden bukan oleh menko atau sesneg atau menteri negara yang mengkoordinasikan. Akan tetapi hal itu sampai sekarang belum terwujud karena masih banyak LPND yang dikoordinasikan dan dirangkap oleh menteri. Demikian pula berdasarkan kepres no 166 tahun 2000 yang kemudian diperbaharui dengan keppres no 103 tahun 2001 hanya LPND tertentu saja yang bisa dijabat oleh PNS. Untuk memperkuat susunan organisasi dalam rangka melakukan restrukturisasi dan reposisi borokrasi publik maka perlu diatur dalam undang-undang. Hal tersebut tentu memerlukan peran DPR untuk menyusunnya (Thoha, 2003:160). Ya, disini seakan-akan peran DPR sangat penting, disini bisa saja DPR membuat dan memberlakukan undang-undang tentang restrukturisasi dan reposisi. Akan tetapi pada kenyataannya, DPR pasti ada partai yang mengusung, dan tentu sedikitnya pasti ada intervensi dari partai yang mengusungnya, meskipun seharusnya mereka lebih memikirkan hal yang penting bagi negara yang berimbas pula kepada nasib rakyat.
Stabilitas eksternal birokrasi dan partai politik jadi semakin jelas, kedudukan birokrasi seolah sangat dicampuri oleh ranah politik, dan politik sangat mendominasi wilayah birokrasi, apalagi dengan fakta bahwa terdapat pula keppres yang berisi aturan yang mempersempit gerak para birokrat dan membuka luas peluang untuk para pejabat politik.
Terlepas dari siapa mendominasi siapa, masalah atau kesenjangan seperti apapun yang terjadi, alangkah lebih baiknya birokrasi lebih meneliti atau memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada di dalam birokrasi itu sendiri, salah satu hal yang harus diperhatikan adalah etika birokrasi, dan tentunya implementasi dari etika birokrasi tersebut.
D. ETIKA BIROKRASI
Etika merupakan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya atau kumpulan asas atau nilai moral. Untuk menjadi pegangan atau rujukan seseorang atau kelompok, nilai-nilai moral tersebut diwujudkan dalam bentuk kode etik, misalnya kode etik kedokteran, kode etik pers/jurnalistik, kode etik kehakiman, dan lain sebagainya (Anggara, 2012: 401). Etika birokrasi adalah “norma atau nilai-nilai moral yang menjadi pedoman bagi keseluruhan aparat pemerintah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya demi kepentingan umum atau masyarakat.
Kode etik dapat memperkuat kepercayaan masyarakat dan mendapat kepastian bahwa kepentingannya terjamin. Jadi, kode etik ibarat kompas yang menunjukkan arah moral dan menjamin mutu kelompok tersebut dalam hal ini kelompok birokrasi dalam pemerintahan di mata masyarakat. Agar pelaksanaan kode etik berhasil dengan baik, pelaksanaannya diawasi terus-menerus dan kode etik mengandung sanksi bagi pelanggar kode etik. Pelanggaran kode etik akan dinilai dan ditindak oleh “suatu dewan kehormatan” atau komisi yang dibentuk khusus untuk keperluan itu (Anggara, 2012: 403)
Oleh karena itu, aparat pemerintah seharusnya mempunyai pedoman dalam bersikap, sehingga birokrasi menjadi lebih bertanggung jawab dan berkembang menjadi lebih baik. Bukan justru memanfaatkan birokrasi untuk kepentingan pribadi tanpa memperhatikan masyarakat yang membutuhkan bantuan pelayanan.
Menurut Anggara, (2012: 405) Pada umumnya, penyusunan kode etik minimal didasari oleh empat aspek pertimbangan sebagai berikut:
Profesionalisme
Keahlian khusus yang dimiliki oleh seseorang, baik yang diperolehnya dari pendidikan formal (dokter, akuntan, pengacara, dan lain-lain).
1. Akuntabilitas
Kesanggupan seseorang untuk mempertanggungjawabkan apa pun yang telah dilakukannya berkaitan dengan profesi serta perannya sehingga ia dapat dipercaya. Misalnya, seorang auditor yang memeriksa laporan keuangan sebuah perusahaan. Ia harus dapat mempertanggungjawabkan hasil pemeriksaan yang dibuatnya sesuai dengan kondisi perusahaan yang sebenarnya.
2. Menjaga kerahasiaan
Sebuah kemampuan memelihara kepercayaan dengan bersikap hati-hati dalam memberikan informasi. Seorang profesional harus mampu menyeleksi hal-hal yang bisa diinformasikan kepada umum dan informasi yang perlu disimpan sebagai sebuah kerahasiaan. Hal ini dilakukan demi menjaga reputasi sebuah perusahaan dan profesi yang dijabatnya. Misalnya seorang konsultan merupakan orang kepercayaan sebuah perusahaan, ia bisa mengetahui seluk-beluk perusahaan tersebut, tetapi harus menjaga informasi yang dimilikinya agar tidak sampai ke pihak luar yang tidak berkepentingan.
3. Independensi
Sikap netral, tidak memihak salah satu pihak, menyadari batasan-batasan dalam mengungkapkan sesuatu juga merupakan salah satu pertimbangan kode etik. Misalnya, untuk mendamaikan dua pihak yang berselisih dan merugikan perusahaan, seorang manajer yang bisa menjaga sikap independennya akan lebih dipercaya kedua belah pihak sehingga akan sangat membantu dalam penyelesaian kasus perselisihan yang dihadapinya.
Prinsip lain yang juga bisa dijadikan parameter dalam pelaksanaan birokrasi dapat merujuk pada prinsip-prinsip good governance yang meliputi partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, kepedulian kepada stakeholder, berorientasi kepada konsensus, kesetaraan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis (Anggara, 2012: 406).
Oleh karena itu, para birokrat harus senantiasa berpegang pada kode etik birokrasi agar setiap tindakan para pejabat dapat sesuai dengan apa yang seharusnya dan lebih terarah, sehingga birokrasi dapat menuju ke arah good governance dan birokrasi yang stabil.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Birokrasi pemerintah adalah suatu pelaksanaan atas suatu kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yang tidak lain untuk memberikan pelayanan publik atas dasar aspirasi masyarakat.
Birokrasi pemerintah seringkali diartikan sebagai officialdom atau kerajaan pejabat. Suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah para pejabat dari suatu bentuk organisasi yang digolongkan moderen. Di dalamnya terdapat tanda-tanda bahwa seseorang mempunyai yurisdiksi yang jelas dan pasti, mereka berada dalam area ofisial yang yurisdiktif. Konsep birokrasi tersebut adalah konsep yang telah usang dimana dikatakan bahwa birokrasi adalah kerajaan pejabat, terdapat yurisdiksi yang di dalamnya mengatur tentang tanggung jawab yang resmi dan bekerja dalam suatu tatanan hierarki. Dimana seseorang yang berada pada hierarki atas mempunyai kekuasaan yang lebih besar ketimbang jabatan yang berada di hierarki bawah. Hal tersebut seolah menciptakan jarak antar masing-masing jabatan, yang berimbas kepada rakyat.
Birokrasi pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pimpinan politik dari partai politik saja melainkan ada juga pimpinan birokrasi karier yang profesional. Sudah jelas dari penjelasan tersebut tentu birokrasi maupun politik mempunyai wilayah dan bagian-bagian tertentu dalam birokrasi pemerintah. Maka seharusnya mereka menjalankan apa yang sudah tergaris dan tidak melewati batasan-batasan diantara mereka. Untuk mengetahui bagaimana para pejabat bertindak, maka harus memperhatikan etika.
Etika merupakan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya atau kumpulan asas atau nilai moral. Untuk menjadi pegangan atau rujukan seseorang atau kelompok, nilai-nilai moral tersebut diwujudkan dalam bentuk kode etik. Etika birokrasi adalah norma atau nilai-nilai moral yang menjadi pedoman bagi keseluruhan aparat pemerintah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya demi kepentingan umum atau masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anggara, Sahya. 2012. Ilmu Administrasi Negara. Bandung: Pustaka Setia.
Kumorotomo, Wahyudi. 2013. Etika Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesiai.Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Komentar
Posting Komentar